Saturday 24 December 2016

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA OLEH LEMBAGA ADAT BADAMAI, BANJAR, KALIMANTAN SELATAN

ALTERNATIF PENYELESAIAN SENGKETA
OLEH LEMBAGA ADAT BADAMAI, BANJAR,
KALIMANTAN SELATAN
Oleh : Ethy Oktafiani M. A
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai .Penyelesaian konfliksecara musyawarah mufakat kini berkembang sebagai hukum adat. , penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian. Adat Badamai  adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar.Adat Badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang bersifat pidan maupun keperdataan.
Kata Kunci :Penyelesaian konflik, Adat Badamai, Banjar.

I. PENDAHULUAN
            Dalam hukum Indonesia masih sering kita dapati fakta bahwa keadilan yang diharapkan melalui jalan formal ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, dan tidak menyeesaikan masalah, serta yang lebih parah lagi adalah didalamnya penuh dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketidakpuasa terhadap mekanisme pemidanaan yang ada karena dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan dan tujuan yang ingin dicapai yaitu mencegah dan menanggulangi kejahatan.
            Indonesia merupakan negara berkembang yang memiliki luas wilayah terbesar di Asia Tenggara, dimana Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam konstitusi negara kita. Masyarakat Indonesia selain tunduk pada ketentuan aturan formil (hukum nasional) juga memiliki nilai-nilai yang hidup dalam masyarakat yang masih diakui keberlakuannya dalam masyarakat Indonesia atau yang lebih dikenal dengan hukum ada. Hukum adat merupakan hukum Indonesia asli yang bentuknya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. Sebagaimana diketahui dalam sejarah perkembangan hukum di Indonesia, sebelum berlakunya hukum modern abad XVII, Indonesia telah mengenal hukum yang hidup dalam masyarakat (living law), yaitu hukum yang bersumber pada agama (Islam, Hindu) dan kebiasaan (Adat).
            Di Indonesia , nilai harmoni , tenggang rasa dan komunalisme atau kebersamaan lebih diutamakan daripada individualisme. Dimana penyelesaian melalui pendekatan consensus dengan hasil win-win solution lebih cocok daripada penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, yang menghasilkan win lose solution.
Pada dasarnya budaya untuk penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yang dianut oleh masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya penyelesaian konflik secara damai , misalnya masyarakat Jawa, Lampung Bali, Sumatra Selatan, LombokPapua, Sulawesi Barat dan Masyarakat Sulawesi Selatan. Penyelesaian konflik secara musyawarah mufakat untuk secepat mungkin diadakan perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan selanjutnya dari hukum adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian konflik melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.[1]
            Budaya musyawarah , sebagai sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat Indonesia , merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang berunding di dalam musyawarah tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya akan berupaya mengurangi pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang menguntungkan bagi semua pihak yang berujung pada mufakat. suatu musyawarah memerlukan tokoh yang dihormati untuk memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat tersebut.Apa yang diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.


II. PEMBAHASAN
Adat Badamai , Kalimantan Selatan
            Adat Badamai  adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar. Adat Badamai  bermakna pula sebagai hasil proses perembukan atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan sebagai penyelesaian dari suatu masalah.[2]
            Adat Badamai  ini lazim pula disebut dengan babaikan, Baparbaik, Bapatut atau mamatut, baakuran dan penyelesaian dengan cara suluh.[3] Hukum Adat Badamai  pada masyarakat Banjar adalah keseluruhan hukum yang tidak tertulis yang berlaku di kalangan orang-orang Banjar yang untuk sebagian dipengaruhi oleh hukum Islam.[4]
            Adat Badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang bersifat pidan maupun keperdataan. Adat Badamai  dalam penyelesaian sengketa disebut juga dengan istilah Baparbaik dan Bapatut.[5]
            Dalam masyarakat adat Banjar  terdapat beberapa peristilahan terhadap perkara pidana seperti perkara pelanggaran kesusialaan , lalu lintas dan peristiwa tindak kekerasan, lebih dikenal dengan istilah Badamai , Baparbaik (babaikan) mamatut, baakuran dan sebagainya.Sedangkan untuk kasus perdata , dipergunakan istilah basuluh atau ishlah.
            Adat Badamai dilakukan dalam rangka menghindarkan persengketaan yang dapat membahayakan tatanan sosial. Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme musyawarah merupakan upayaa alternatif dalam masyarakat. Pada masyarakat Banjar jika terjadi persengketaan diantara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau pelanggaran norma (Adat) atau terjadi perkelahian ataupun pelanggaran lalu lintas, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara badamai. Adat badamai ini diakui efektif dalam menyelesaikan pertikaian atau persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan perasaan dendam.[6]
            Undang-undang Sultan Adam (UUSA) adalah sebagai dasar hukum Adat Badamai sampai saat ini tetap menjadi landasan norma dan perilaku dalam masyarakat Banjar. Bahkan sampai sekarang masih menjadi suatu tradisi mamatut. Mamatut merupakan proses mendamaikan antara kedua belah pihak yang bersengketa seperti kasus pelanggaran hukum seperti perkelahian.[7]
            Mochrani membagi penyelesain sengketa itu kepada 2 (dua) kelompok hal yaitu :[8]
a. Penyelesaian dalam masalah agama yaitu dengan cara mengadakan hujjah dan,
b. Penyelesaian konflik yang bersifat fisik yang berkaitan dengan kasus penganiayaan , perkelahian , pelanggaran lalulintas maupun sengketa pembagian harta warisan.
            Jika terjadi konflik atau persengketaan antara warga dan tidak dilakukan adat Badamai diyakini akan merusak tatanan Harmoni yang merupakan pelanggaran terhadap kearifan tradisional . Jika konflik terjadi apalagi yang berkaitan dengan peristiwa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat (tetuhakampung) berinisiatif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Diupayakan pertemuan (musyawarah) keluarga, dilanjutkan acara selamatan dengan bermaaf-maafan dan terkadang disertai dengan perjanjian tidak akan memperpanjang sengketa dan permusuhan. bahkan diantara kedua belah pihak diikat dalam sebuah persaudaraan yang lazim disebut sebagai baangkat dangsanak (dipersaudarakan) atau baangkat kuitan (menjadi orang tua dan anak angkat).
            Ciri khas yang membedakan Adat Badamai dengan penyelesaian damai pada masyarakat lainnya adalah adanya nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi , adanya upacara yang mengiringi sebagai simbol tuntasnya sengketa atau pertikaian , adanya acara maangkat dangsanak atau maangkat kuitan (dipersaudarakan) yang sarat dengan unsur-unsur ritual yang bersifat religius semisal adanya upacara batapung tawar (upacara perdamaian yang ditandai dengan simbol memercikan minyak likat baboreh (minyak kelapa dicampur dengan wewangian) ke kepala para pihak sebagai simbol persaudaraan), lengkap dengan hidangan nasi ketan dan kelapa parut yang dicampur dengan gula jawa.[9]
            Peran Adat Badamai dalam bentuk penyelesain sengketa perkara pidana begitu penting , tidak diiringi dengan adanya landasan hukum yang mengatur maupun yang mengakuikeberadaan adat Badamai dalam peraturan daerah provinsi Kalimantan Selatan. eksistensinya hanya diatur secara umum dalam UUD 1945. Undang-Undang yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat seperti Undang-Undang pokok agraria, Undang-Undang Kehutanan dan sebagainya.


III. KESIMPULAN
Berdasarkan pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Adat Badamai  adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar.Penyelesaian konflik melalui adat badamai diarahkan pada harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.Jika terjadi konflik atau persengketaan antara warga dan tidak dilakukan adat Badamai diyakini akan merusak tatanan Harmoni yang merupakan pelanggaran terhadap kearifan tradisional










DAFTAR PUSTAKA

Daud , Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar , Deskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta : Raja Grafindo Persada , 1977
Hasan, Ahmadi.Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan , Jurnal Al-banjari ,Vol. 5 No.9
Hasan, Ahmadi.Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu Kini dan masa  Mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies, banjarmasin 1-4 November 2010,
Hasan, Ahmadi.Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada masyarakat banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi , Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007.
Laporan hasil penelitian , Hukum Adat Kalimantan Selatan, tim peneliti Unlambekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Banjarmasin , 1990
Usman,Gazali.Kerajaan Banjar sejarah Perkembangan politik, Ekonomi Perdagangan dan agama Islam. Banjarmasin: Unlam,1994
Diakses pada 25 Juni 2015
https://rifq1.wordpress.com/2011/08/14/banjar-berhukum-dan-melawan/
Diakses pada 25 Juni 2015




[1]Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan , Jurnal Al-banjari ,Vol. 5 No.9 hlm 5

[2]Ahmadi Hasan, Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu Kini dan masa mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies, banjarmasin 1-4 November 2010, hlm. 143

[3]Alfani Daud , islam dan Masyarakat banjar , deskripsi dan Analisa Kebudayaan banjar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada , 1977) hlm 198

[4]laporan hasil penelitian , Hukum Adat Kalimantan Selatan, tim peneliti Unlambekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Banjarmasin , 1990

[5]Ahmadi Hasan , Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada masyarakat banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi , Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007. hlm 117

[6]Ahmadi Hasan, Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu Kini dan masa  mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies, banjarmasin 1-4 November 2010

[7]Gazali Usman, Kerajaan Banjar sejarah Perkembangan politik, Ekonomi Perdagangan dan agama Islam (Banjarmasin: Unlam,1994) Hlm 184-185.

[8]Ahmadi Hasan , Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada masyarakat banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi , Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007
[9]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar, diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta:Raja Persada, 1977) hlm 198

No comments:

Post a Comment