OLEH LEMBAGA ADAT BADAMAI, BANJAR,
KALIMANTAN SELATAN
Oleh : Ethy Oktafiani M. A
---------------------------------------------------------------------------------------------------
Abstrak
Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai
budaya penyelesaian konflik secara damai .Penyelesaian konfliksecara musyawarah mufakat kini berkembang sebagai hukum adat. , penyelesaian konflik melalui musyawarah
memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan pada harmonisasi atau
kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat
mungkin menjaga suasana perdamaian. Adat Badamai adalah salah
satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat
Banjar.Adat Badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang
bersifat pidan maupun keperdataan.
Kata
Kunci :Penyelesaian konflik, Adat Badamai, Banjar.
I. PENDAHULUAN
Dalam
hukum Indonesia masih sering kita dapati fakta bahwa keadilan yang diharapkan
melalui jalan formal ternyata mahal, berkepanjangan, melelahkan, dan tidak
menyeesaikan masalah, serta yang lebih parah lagi adalah didalamnya penuh
dengan praktek korupsi, kolusi dan nepotisme. Ketidakpuasa terhadap mekanisme
pemidanaan yang ada karena dirasakan tidak memenuhi rasa keadilan dan tujuan
yang ingin dicapai yaitu mencegah dan menanggulangi kejahatan.
Indonesia
merupakan negara berkembang yang memiliki luas wilayah terbesar di Asia
Tenggara, dimana Indonesia merupakan negara hukum sebagaimana diatur dalam
konstitusi negara kita. Masyarakat Indonesia selain tunduk pada ketentuan
aturan formil (hukum nasional) juga memiliki nilai-nilai yang hidup dalam
masyarakat yang masih diakui keberlakuannya dalam masyarakat Indonesia atau
yang lebih dikenal dengan hukum ada. Hukum adat merupakan hukum Indonesia asli
yang bentuknya tidak tertulis dalam bentuk perundang-undangan Republik
Indonesia yang di sana-sini mengandung unsur agama. Sebagaimana diketahui dalam
sejarah perkembangan hukum di Indonesia, sebelum berlakunya hukum modern abad
XVII, Indonesia telah mengenal hukum yang hidup dalam masyarakat (living law),
yaitu hukum yang bersumber pada agama (Islam, Hindu) dan kebiasaan (Adat).
Di
Indonesia , nilai harmoni , tenggang rasa dan komunalisme atau kebersamaan
lebih diutamakan daripada individualisme. Dimana penyelesaian melalui
pendekatan consensus dengan hasil win-win solution lebih cocok daripada
penyelesaian sengketa melalui jalur litigasi, yang menghasilkan win lose
solution.
Pada dasarnya budaya untuk
penyelesaian secara musyawarah atau konsiliasi merupakan nilai yang dianut oleh
masyarakat di Indonesia. Berbagai suku bangsa di Indonesia mempunyai budaya
penyelesaian konflik secara damai , misalnya masyarakat Jawa, Lampung Bali,
Sumatra Selatan, LombokPapua, Sulawesi Barat dan Masyarakat Sulawesi Selatan.
Penyelesaian konflik secara musyawarah mufakat untuk secepat mungkin diadakan
perdamaian berkembang sebagai hukum adat. Perkembangan selanjutnya dari hukum
adat pada suku bangsa di Indonesia khususnya terhadap penyelesaian konflik
melalui musyawarah memiliki berbagai kesamaan yaitu konflik diarahkan pada
harmonisasi atau kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan,
dengan sedapat mungkin menjaga suasana perdamaian.[1]
Budaya
musyawarah , sebagai sistem nilai yang dihayati oleh masyarakat Indonesia ,
merupakan semangat untuk masing-masing pihak yang berunding di dalam musyawarah
tersebut untuk menyelesaikan konflik misalnya akan berupaya mengurangi
pendiriannya sehingga dapat dicapai titik temu yang menguntungkan bagi semua
pihak yang berujung pada mufakat. suatu musyawarah memerlukan tokoh yang
dihormati untuk memimpin musyawarah dapat mencapai mufakat tersebut.Apa yang
diputuskan dalam musyawarah guna menyelesaikan konflik tersebut secara
perlahan-lahan berkembang menjadi hukum adat.
II. PEMBAHASAN
Adat Badamai , Kalimantan Selatan
Adat Badamai
adalah salah satu bentuk penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan
oleh masyarakat Banjar. Adat Badamai bermakna pula sebagai hasil proses perembukan
atau musyawarah dalam pembahasan bersama dengan maksud mencapai suatu keputusan
sebagai penyelesaian dari suatu masalah.[2]
Adat Badamai
ini lazim pula disebut dengan babaikan, Baparbaik, Bapatut atau mamatut, baakuran dan penyelesaian
dengan cara suluh.[3]
Hukum Adat Badamai pada masyarakat Banjar adalah keseluruhan
hukum yang tidak tertulis yang berlaku di kalangan orang-orang Banjar yang
untuk sebagian dipengaruhi oleh hukum Islam.[4]
Adat
Badamai merupakan istilah bagi penyelesaian sengketa baik yang bersifat pidan
maupun keperdataan. Adat Badamai dalam penyelesaian sengketa disebut juga
dengan istilah Baparbaik dan Bapatut.[5]
Dalam
masyarakat adat Banjar terdapat beberapa
peristilahan terhadap perkara pidana seperti perkara pelanggaran kesusialaan ,
lalu lintas dan peristiwa tindak kekerasan, lebih dikenal dengan istilah
Badamai , Baparbaik (babaikan) mamatut, baakuran dan sebagainya.Sedangkan
untuk kasus perdata , dipergunakan istilah basuluh
atau ishlah.
Adat
Badamai dilakukan dalam rangka menghindarkan persengketaan yang dapat
membahayakan tatanan sosial. Putusan Badamai yang dihasilkan melalui mekanisme
musyawarah merupakan upayaa alternatif dalam masyarakat. Pada masyarakat Banjar
jika terjadi persengketaan diantara warga atau terjadi tindak penganiayaan atau
pelanggaran norma (Adat) atau terjadi perkelahian ataupun pelanggaran lalu
lintas, maka warga masyarakat berkecenderungan menyelesaikan secara badamai.
Adat badamai ini diakui efektif dalam menyelesaikan pertikaian atau
persengketaan. Sekaligus mampu menghilangkan perasaan dendam.[6]
Undang-undang Sultan Adam (UUSA)
adalah sebagai dasar hukum Adat Badamai sampai saat ini tetap menjadi landasan
norma dan perilaku dalam masyarakat Banjar. Bahkan sampai sekarang masih
menjadi suatu tradisi mamatut. Mamatut merupakan proses mendamaikan
antara kedua belah pihak yang bersengketa seperti kasus pelanggaran hukum
seperti perkelahian.[7]
Mochrani
membagi penyelesain sengketa itu kepada 2 (dua) kelompok hal yaitu :[8]
a. Penyelesaian dalam masalah agama yaitu dengan cara
mengadakan hujjah dan,
b. Penyelesaian konflik yang
bersifat fisik yang berkaitan dengan kasus penganiayaan , perkelahian ,
pelanggaran lalulintas maupun sengketa pembagian harta warisan.
Jika
terjadi konflik atau persengketaan antara warga dan tidak dilakukan adat
Badamai diyakini akan merusak tatanan Harmoni yang merupakan pelanggaran
terhadap kearifan tradisional . Jika konflik terjadi apalagi yang berkaitan
dengan peristiwa pidana, maka tokoh-tokoh masyarakat (tetuhakampung)
berinisiatif untuk mendamaikan para pihak yang bersengketa. Diupayakan
pertemuan (musyawarah) keluarga, dilanjutkan acara selamatan dengan
bermaaf-maafan dan terkadang disertai dengan perjanjian tidak akan
memperpanjang sengketa dan permusuhan. bahkan diantara kedua belah pihak diikat
dalam sebuah persaudaraan yang lazim disebut sebagai baangkat dangsanak
(dipersaudarakan) atau baangkat kuitan (menjadi orang tua dan anak angkat).
Ciri
khas yang membedakan Adat Badamai dengan penyelesaian damai pada masyarakat
lainnya adalah adanya nilai-nilai atau norma yang harus dipatuhi , adanya
upacara yang mengiringi sebagai simbol tuntasnya sengketa atau pertikaian ,
adanya acara maangkat dangsanak atau maangkat kuitan (dipersaudarakan) yang
sarat dengan unsur-unsur ritual yang bersifat religius semisal adanya upacara
batapung tawar (upacara perdamaian yang ditandai dengan simbol memercikan
minyak likat baboreh (minyak kelapa dicampur dengan wewangian) ke kepala para
pihak sebagai simbol persaudaraan), lengkap dengan hidangan nasi ketan dan
kelapa parut yang dicampur dengan gula jawa.[9]
Peran
Adat Badamai dalam bentuk penyelesain sengketa perkara pidana begitu penting ,
tidak diiringi dengan adanya landasan hukum yang mengatur maupun yang
mengakuikeberadaan adat Badamai dalam peraturan daerah provinsi Kalimantan
Selatan. eksistensinya hanya diatur secara umum dalam UUD 1945. Undang-Undang
yang mengakui keberadaan masyarakat hukum adat seperti Undang-Undang pokok
agraria, Undang-Undang Kehutanan dan sebagainya.
III.
KESIMPULAN
Berdasarkan
pembahasan diatas, dapat disimpulkan bahwa Adat Badamai adalah salah satu bentuk
penyelesaian sengketa yang lazim dilakukan oleh masyarakat Banjar.Penyelesaian konflik melalui adat badamai diarahkan pada harmonisasi atau
kerukunan dalam masyarakat serta tidak memperuncing keadaan, dengan sedapat
mungkin menjaga suasana perdamaian.Jika terjadi konflik atau persengketaan
antara warga dan tidak dilakukan adat Badamai diyakini akan merusak tatanan
Harmoni yang merupakan pelanggaran terhadap kearifan tradisional
DAFTAR PUSTAKA
Daud , Alfani. Islam dan Masyarakat Banjar , Deskripsi dan
Analisa Kebudayaan Banjar, Jakarta : Raja Grafindo Persada , 1977
Hasan, Ahmadi.Penyelesaian Sengketa Melalui Upaya
(Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan , Jurnal Al-banjari
,Vol. 5 No.9
Hasan, Ahmadi.Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu
Kini dan masa Mendatang, Makalah dalam Annual Conference
on Islamic Studies, banjarmasin 1-4 November 2010,
Hasan, Ahmadi.Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan
Adat Badamai pada masyarakat banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional,
Disertasi , Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007.
Laporan
hasil penelitian , Hukum Adat Kalimantan Selatan, tim peneliti Unlambekerjasama
dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi Dati I Kalimantan Selatan Banjarmasin , 1990
Usman,Gazali.Kerajaan
Banjar sejarah Perkembangan politik, Ekonomi Perdagangan dan agama Islam.
Banjarmasin: Unlam,1994
Diakses pada 25 Juni 2015
https://rifq1.wordpress.com/2011/08/14/banjar-berhukum-dan-melawan/
Diakses pada 25 Juni 2015
[1]Ahmadi Hasan, Penyelesaian Sengketa Melalui
Upaya (Non-Litigasi) Menurut Peraturan Perundang-Undangan , Jurnal Al-banjari
,Vol. 5 No.9 hlm 5
[2]Ahmadi Hasan, Adat Badamai Pada Masyarakat Banjar Dulu Kini dan
masa mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies,
banjarmasin 1-4 November 2010, hlm. 143
[3]Alfani Daud , islam dan Masyarakat banjar , deskripsi dan Analisa
Kebudayaan banjar, (Jakarta : Raja Grafindo Persada , 1977) hlm 198
[4]laporan hasil penelitian , Hukum Adat Kalimantan Selatan, tim
peneliti Unlambekerjasama dengan Badan Perencanaan Pembangunan Daerah Propinsi
Dati I Kalimantan Selatan Banjarmasin , 1990
[5]Ahmadi Hasan , Penyelesaian Sengketa Hukum Berdasarkan Adat
Badamai pada masyarakat banjar dalam Kerangka Sistem Hukum Nasional, Disertasi
, Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia, 2007. hlm 117
[6]Ahmadi Hasan, Adat Badamai Pada
Masyarakat Banjar Dulu Kini dan masa mendatang, Makalah dalam Annual Conference on Islamic Studies,
banjarmasin 1-4 November 2010
[7]Gazali Usman, Kerajaan Banjar sejarah
Perkembangan politik, Ekonomi Perdagangan dan agama Islam (Banjarmasin:
Unlam,1994) Hlm 184-185.
[8]Ahmadi Hasan , Penyelesaian Sengketa
Hukum Berdasarkan Adat Badamai pada masyarakat banjar dalam Kerangka Sistem
Hukum Nasional, Disertasi , Pascasarjana fakultas Hukum Universitas Islam
Indonesia, 2007
[9]Alfani Daud, Islam dan Masyarakat Banjar,
diskripsi dan Analisa Kebudayaan Banjar, (Jakarta:Raja Persada, 1977) hlm 198
No comments:
Post a Comment