Sepertiga Malam Terakhir
Cerpen Sungging Raga (Media Indonesia, 21
September 2014)
DI sepertiga malam terakhir itu, Dirminto masih duduk di belakang rumahnya.
Ia sedang termenung memandangi langit. “Benarkah Tuhan turun di saat-saat
seperti ini?”
Sambil mengisap rokoknya,Dirminto memperhatikan
rembulan yang gersang, yang kadang dilewati awan tipis, tapi kemudian lengang
kembali. Di sekeliling rembulan ada bintang-bintang yang pendiam, sebagian
berkedip, sebagian lagi bersinar cukup terang. Lelaki itu lantas melangkah
masuk ke rumahnya yang sempit, istrinya ternyata sudah bangun, sibuk melipat
baju-baju. Sementara itu, dua anak gadisnya masih terlelap di atas tikar,
Manisha yang berusia empat tahun, dan Nalea tujuh tahun.
“Kamu tidak tidur semalaman?” tanya istrinya.
“Mana bisa aku tidur, sementara besok kita tak tahu
harus pergi ke mana,” jawab Dirminto.
Di rumah yang dindingnya berupa kayu dan tripleks itu,
kesunyian begitu cepat merasuk. Tak lama kemudian, terdengar sayup-sayup suara
azan subuh di surau yang jauh, terasa sangat jauh seperti masa lalu.
“Tuhan sudah kembali ke langit,” gumam Dirminto.
“Apa?” tanya istrinya.
“Eh, tidak apa-apa.” Dirminto terkejut sendiri. Ia tak
tahu bagaimana bisa memikirkan semua itu, setelah seluruh kepahitan hidup dilaluinya
begitu saja, mengapa ia harus terngiang kalimat yang beberapa hari lalu
diucapkan oleh anak gadisnya?
“Kata ustaz di surau tempat Nalea mengaji, Tuhan turun
ke langit dunia di sepertiga malam terakhir. Dia akan mengabulkan doa siapa
saja yang berdoa.” Begitu Nalea pernah berkata. “Kalau Nalea bangun, Nalea juga
mau berdoa ya, Pak.”
Dirminto tersenyum. “Ustaz itu pasti telah mengajarimu
banyak hal Nalea,” kata lelaki itu sambil membelai rambut anaknya.
Ah, tapi sekarang, Nalea dan adiknya, Manisha, harus
segera dibangunkan. Perlahan Dirminto mencubit tangan kedua anaknya agar mereka
terjaga dari kesunyian pagi dan mimpi-mimpi yang menggigil. Angin sesekali
menembus dari arah jendela berbingkai kayu. Cahaya matahari terbiasa masuk
lewat celah-celah itu. Istrinya sudah memasukkan pakaian ke dalam tas. Kedua
anak kecil itu pun terjaga, mengusap wajahnya.
“Ayo cepat mandi dan siap-siap. Kita pergi sekarang!”
kata Dirminto pada kedua anaknya, terutama kepada Nalea, yang tentu telah
mengerti setiap ucapannya.
***
Pagi hari, ketika warga permukiman Ensifera telah
berkumpul untuk melawan rencana penggusuran itu, Dirminto justru telah siap
untuk pergi. Istrinya menggendong Manisha, sementara Dirminto memanggul sebuah
tas sambil menggandeng tangan Nalea. Melihat hal itu, para tetangganya menjadi
heran.
“Kau ini bagaimana, bukannya memperjuangkan hak kita,
malah berkemas seperti itu.”
“Maaf Pak Pri, aku hanya tidak mau anak dan istriku
trauma melihat orang-orang berseragam itu.”
“Jadi kau mau membiarkan mereka menghancurkan tempat
yang sudah kita huni bertahun-tahun begitu saja?”
Dirminto termenung. Dalam cerita pendek ini, ia memang
terlalu banyak termenung. Dirminto sudah tahu, sejak dahulu, alur penggusuran
akan selalu seperti ini: protes warga, tangisan, bersitegang dengan aparat,
tapi pada akhirnya alat-alat berat tetap muncul, lalu mulailah terdengar suara
bangunan rubuh yang diiringi teriakan histeris, ibu-ibu pingsan, anak-anak
menangis dalam pelukan, kamera wartawan sibuk mencari gambar terbaik.
Dirminto tak mau keluarga kecilnya, terutama Nalea,
yang di usia sekarang sedang gemar-gemarnya mengingat dan mempelajari banyak
hal, merekam kejadian semacam penggusuran. Ia lantas menyerahkan kunci pada
lelaki bernama Pak Pri tadi.
“Kalau memang rumah ini digusur, ya biarlah, kami akan
cari tempat lain.”
“Kau pengecut!” kata warga yang lain.
“Pergilah sejauh-jauhnya!”
Dirminto mulai berjalan, memanggul tas, menggamit
tangan Nalea. Sementara istrinya ikut di belakangnya. Mereka meninggalkan rumah
kumuh yang telah ditempati selama lebih dari sepuluh tahun itu.
Tak lama Dirminto berjalan, di perempatan yang mulai
ramai itu, mereka melihat rombongan petugas yang hendak melakukan penggusuran,
petugas itu diangkut beberapa mobil, juga ada alat berat yang ikut di belakang
iring-iringan tersebut.
Dirminto cepat-cepat berlalu, ia tak mau Nalea melihat
pemandangan itu.
“Kita mau ke mana, Pak?” tanya gadis kecil itu.
“Ke rumah yang baru.”
“Di mana?”
“Di… sana.” Dirminto asal menunjuk saja. Padahal ia
belum punya bayangan apa-apa.
Satu jam berjalan kaki, mereka disambut hujan. Mereka
lantas berteduh beberapa kali, di depan warung yang masih tutup, di kolong
jembatan, hingga akhirnya hujan reda dan mereka beristirahat di sebuah halte
yang sepi, ada coretan-coretan jorok pada dindingnya, poster-poster yang telah
mengelupas, juga atap yang berlubang di sana-sini. Di situ hanya ada seorang
lelaki yang sepertinya sedang menunggu mobil angkutan.
“Aku mau ke warung di seberang itu untuk beli nasi,”
kata istrinya. Wanita itu lantas menyeberang sambil tetap menggendong Manisha,
sementara Dirminto dan Nalea menunggu di halte.
“Pak, apa benar kita digusur? Tidak bisa kembali ke
rumah?” Tanya Nalea.
“Benar, Nalea. Itu bukan rumah kita lagi. Kita harus
cari tempat di kota lain.”
“Apa semua orang di kota ini begitu jahat pada kita?”
Dirminto termenung lagi. Lelaki asing yang sedang
menunggu angkutan rupanya mendengar percakapan tersebut.
“Apa Anda baru saja kena musibah?” tanya lelaki itu.
“Ya.”
Lelaki itu melihat beberapa tas dan kantong plastik.
“Oh, penggusuran Ensifera yang tadi masuk televisi?”
“Eh, masuk televisi?” Dirminto jadi heran. Secepat
itukah tempat tinggalnya diliput?
“Wah. Jauh sekali Anda berjalan, sudah sampai sini.”
Dirminto memang tidak sadar sejauh apa perjalanannya,
ia hanya berjalan tanpa tujuan, mungkin sebagai lelaki, ia sudah biasa
berjalan, tapi kalau ingat istrinya dan Nalea, ia tak bisa membayangkan betapa
lelahnya mereka berdua, sementara Manisha tetap dalam gendongan, kadang
menangis entah karena apa.
“Berdoalah kepada Tuhan,” kata lelaki itu lagi.
Dirminto terkejut. Ia lalu menggeleng. “Untuk apa?”
“Berdoalah. Kalau Anda merasa dianiaya, Anda bisa
berdoa apa saja untuk mereka. Itu pun kalau Anda mau.”
Dirminto seperti ingin tertawa. Akhirnya ia
benar-benar tertawa. “Tidak ada gunanya. Tuhan sudah lama tidak menolong kami,”
jawab Dirminto. “Kalau Tuhan menolong kami atau membalas perbuatan mereka,
seharusnya keadaan tidak seperti sekarang ini.”
“Jangan begitu. Jika Anda tak percaya lagi kepada
Tuhan, lalu kepada siapa lagi Anda mengharapkan pertolongan?”
“Sudahlah, sebaiknya Anda tidak perlu berceramah, itu
ada bus datang.” Ucapan Dirminto sedikit ketus, ia lalu bangkit dan mengajak
Nalea menyeberang jalan, menuju warung di mana istrinya sudah keluar membawa
plastik berisi nasi dan lauk. Mereka melanjutkan perjalanan.
***
Malam harinya, sekitar pukul delapan, mereka tiba di
sebuah perbukitan yang sepi, Dirminto menemukan sebuah lahan rumput yang cukup
luas. Dari bukit ini, ia bisa melihat seluruh kota Wintersia. Ternyata benar,
permukiman Ensifera sudah jauh sekali.
“Kita bermalam di sini,” kata Dirminto sambil
menggelar tikar dan selimut. Setelah meletakkan tas, istri dan kedua anaknya
begitu cepat merebahkan diri dan terlelap, tentu karena lelah sekali. Sementara
Dirminto sedikit menjauh, ia menyalakan rokoknya, duduk memandangi kota di
kejauhan.
Di manakah rumah? Di manakah masa depan? Dari bukit
ini hanya terlihat kota yang gemerlap, kota yang telah mengusirnya. Matanya
menangkap lanskap gedung-gedung, sungai yang diapit pemukiman, lampu-lampu,
papan reklame bercahaya. Dan, akhirnya rasa kantuk itu pun menumbangkannya.
Dirminto lantas tertidur begitu saja di atas rumput.
Namun, di sepertiga malam terakhir, tiba-tiba ia
terjaga karena suara ribut dari jauh. Sambil menahan kantuk, Dirminto membuka
matanya, bangkit, lalu terkejut bukan kepalang.
Dari atas bukit itu ia melihat seluruh kota terbakar,
seluruhnya, gedung-gedung tinggi nan megah itu, tiba-tiba menjelma
batang-batang merah raksasa, jeritan demi jeritan membahana, suara mobil
pemadam kebakaran dan ambulans saling bersahutan. Kekuatan macam apa yang bisa
membuat seluruh bangunan di kota Wintersia bisa terbakar secara bersamaan? Ini
mustahil. Dirminto bagai sedang melihat sulap yang tidak mungkin, tapi tatkala
ia menoleh ke belakang, ia lebih terkejut lagi ketika melihat Nalea, anak
gadisnya, ternyata tidak tidur. Di sepertiga malam terakhir itu, Nalea sedang
duduk menangis, sambil mengangkat kedua tangannya ke langit.
Seperti sedang mendoakan sesuatu yang begitu cepat
dikabulkan. (*)
Sungging Raga, tinggal di Situbondo, Jawa Timur.
Banyak menulis fiksi.
No comments:
Post a Comment